Empat Mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, Baru-baru ini Menggagas Model Teologi Inklusif Sebagai Resolusi Konflik Agama

Bandungrayanews.com,- Kota Bandung: Artikel, Luasnya jangkauan media sosial membuat media sosial kini memiliki topik yang beragam, tak terkecuali topik keagamaan. Didominasi oleh kawula muda, topik keagamaan di berbagai platform pun dikemas secara menarik dan kreatif, seperti infografis berwarna, podcast, animasi dan video kreatif.

Pengemasan yang menarik dengan tidak mengurangi esensi substansi topik agama menjadikan akun penyedia topik agama memiliki jangkauan interaksi cukup tinggi.

Tajamnya paparan konten keagamaan di media sosial memang berdampak positif—supaya kawula muda lebih aware terhadap isu agama, namun, tidak bisa dipungkiri, hal tersebut juga berpotensi merangsang perilaku provokasi yang memunculkan dampak negatif seperti sikap eksklusivisme dan fanatisme beragama, atau dalam istilah populernya mabok agama.

Selain perilaku eksklusif dan fanatis terhadap agama, perilaku seperti menghubung-hubungkan budaya bangsa terhadap ajaran agama sehingga ajaran agama dimanipulasi oleh pihak-pihak lain yang kemudian membenturkan argumen satu sama lain sehingga memantik perpecahan di masyarakat.

Empat mahasiswa dari Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (FPIPS) Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung baru-baru ini menggagas model teologi inklusif sebagai resolusi konflik agama sehingga cita-cita tercapainya perdamaian umat beragama—khususnya di Indonesia dalam ruang lingkup media sosial dapat tercapai.

Penggunaan model ini selain dapat menjadi sarana edukasi mengenai topik dan isu agama, tapi juga mengontrol sikap dan pemikiran yang terbentuk akibat paparan konten keagamaan di berbagai platform media sosial.

Tak hanya itu, model teologi inklusif ini juga diharapkan bisa membuat para kawula muda lebih kritis dan bijak dalam bertindak, mengingat agama merupakan aspek kehidupan yang cukup sakral.

Dengan demikian, platform media sosial dapat memiliki iklim yang lebih damai dan mencegah terjadinya perpecahan akibat aspek agama, mengingat cukup banyaknya konflik keagamaan yang telah terjadi—termasuk di Indonesia dan rata-rata diwarnai dengan aksi anarkis kekerasan.

Rekam jejak sejarah mencatat peristiwa konflik beragama seperti halnya konflik Hindu-Islam di India Barat, konflik Buddha Rohingya dengan diwarnai aksi-aksi pengusiran, penghancuran, pemerkosaan, hingga pemenggalan, konflik Israel-Palestina yang dianggap sebagai salah satu tahun paling berdarah dalam sejarah penyerangan Palestina, juga konflik Poso yang menjadi salah satu peristiwa yang paling menggemparkan melibatkan umat Kristen-Muslim di Sulawesi Tengah.

Sudah banyak isu-isu yang dihembuskan tentang konflik agama di Media Sosial. Salah satu isu yang menyebar seantero Indonesia hingga membuat kegeraman masyarakat muslim adalah kasus penistaan agama oleh Basuki Tjahaja Purnama, atau orang Indonesia lebih mengenalnya dengan sapaan “Ahok”, seorang yang pernah memangku jabatan sebagai Gubernur DKI Jakarta.

Bahkan, kasusnya mencuat pertama kali ke “dunia” adalah karena ada yang mengunggah ke media sosial. Kasus ini banyak menyita publik, umat Islam melakukan demo besar-besaran untuk menuntut Ahok agar kasusnya diselesaikan dengan seadil-adilnya.

Konflik ramai dibicarakan di media sosial karena masyarakat yang menginginkan kasus penistaan ini diusut tuntas, dianggap tidak paham betul bagaimana wujud “kebhinekaan” dalam Indonesia.

Antar pihak pro dan kontra saling menyerang secara verbal, memaparkan argumentasinya di media, menimbulkan gap antar golongan, hingga saling merasa bahwa pendapatnya lah yang paling benar. Kasus Ahok ini hanya sebagian kecil dari yang terlihat mengenai konflik beragama di jagat maya. Ibarat gunung es, bagian-bagian lainnya tak terlihat, tetapi eksistensi mengenai konflik agama ini tak bisa dipandang sebelah mata.

Hal ini dibuktikan oleh United States Commission on International Religious Freedom, yang menyebutkan bahwa Indonesia ini merupakan salah satu dari sepuluh negara dengan kasus penistaan agama terbesar. Bukankah makna “menistakan” agama di sini memberikan gambaran dengan jelas bahwa adanya suatu “ketidak sukaan” terhadap agama lain karena dirasa mereka berbeda? Bukankah ini menjadi cermin yang tepat untuk menyadari tentang konflik beragama ini tak bisa terus dibiarkan?

Tidak bisa dipungkiri, maraknya konflik keagamaan tersebut mengurangi persentase kerukunan dan kedamaian dalam kehidupan sosial sehari-hari karena kecenderungan untuk merasa agamanya adalah ajaran yang paling benar membuat tingkat egoisme seseorang menjadi lebih tinggi—sehingga akan sulit untuk menghargai dan menghormati sesama yang berbeda agama.

Tim penelitian ini terdiri dari mahasiswa angkatan 2020 yang merupakan mahasiswa asal Program Studi Pendidikan Sosiologi dan Program Studi Ilmu Komunikasi, kecuali Widia yang merupakan mahasiswa angkatan 2019 dari Program Studi Ilmu Pendidikan Agama Islam.

Diketuai oleh Qolbi Sukmayadi dengan tiga orang anggotanya, yaitu Sansa Bunga, Sarah Annisa dan Widia Lestari, mereka dibimbing oleh Dosen Departemen Pendidikan Umum FPIPS UPI Bandung yang saat ini berada di Program Studi Pendidikan Sosiologi, Dr. Pandu Hyangsewu, M. Ag. Hal ini disampaikan Qolbi Sukmayadi kepada Awak media Bandungrayanews.com melalui pesan WhatsApp, jum’at 3 September 2021.

Perbedaan latar belakang program studi yang dimiliki oleh tim ini menjadikan pokok kajian penelitian memiliki pandangan dari tiga sudut pandang, yaitu sosiologi, komunikasi dan agama Islam.

Menurut Pandu, hadirnya PKM yang difasilitasi oleh Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia adalah dengan tujuan untuk mewadahi minat dan potensi mahasiswa Indonesia.

Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) selain untuk mewadahi minat dan potensi, juga untuk mengkaji lebih dalam, mengembangkan dan memberikan dampak pada masyarakat luas melalui ilmu dan tekonologi yang telah dipelajarinya di perkuliahan.

Berawal dari ketertarikan terhadap isu moderasi agama dan keresahan akibat maraknya konflik agama yang terjadi dan diwarnai dengan bentuk kekerasan, hal ini menjadi urgensi mengapa penelitian ini dilakukan dan menjadikan teologi inklusif yang digagas oleh Nurcholish Madjid atau Cak Nur digunakan sebagai bingkai resolusi konflik.

“Konten agama yang ada di media sosial memang bagus, tetapi jika dikonsumsi mentah-mentah tanpa adanya filterisasi dan landasan kritis yang memiliki pemahaman kuat mengenai agamai agama justru akan menjadi bumerang bagi dirinya dan sekitar,” kata Qolbi.

Setelah melakukan survey, diskusi dan wawancara terhadap tim penelitian, tokoh, dan lingkungan sekitar, topik dan urgensi yang diusung tim peneliti pun terbagi menjadi beberapa pokok bahasan besar, yaitu moderasi beragama, pluralisme, inklusivisme beragama dan bagaimana topik tersebut diolah dalam bingkai Teologi Inklusif sebagai resolusi konflik.

“Sebagai generasi penerus bangsa yang kehidupannya kini tak terlepas dari media sosial, selain diharapkan mampu bersifat kritis dan bijak terhadap paparan konten keagamaan, alangkah baiknya supaya mereka dapat berlaku bijaksana di media sosial, termasuk merawat kebhinekaan perbedaan agama,” tambah Qolbi.

Melalui kajian pustaka mendalam dan mewawancarai berbagai tokoh akademisi yang berfokus pada kajian agama, tim peneliti kemudian berhasil membuat sebuah model resolusi konflik yang berangkat dari pengembangan Teologi Inklusif gagasan Cak Nur.

Loading