Bandungrayanews.com /
Oleh : Lilis Suryani ( Guru dan Pegiat Literasi)
KAB. BANDUNG BARAT- Kebakaran yang terjadi di TPA Sarimukti berdampak serius bagi berbagai pihak, terlebih bagi penduduk di sekitar wilayah kebakaran. Apalagi kebakaran sudah terjadi sepekan lebih, asap dari kebakaran tersebut tentu saja berdampak buruk bagi kesehatan masyarakat.
Penulis sendiri yang berjarak agak jauh dari lokasi kebakaran ( 30 menit perjalanan) merasakan dampak negatif dari polusi udara berupa kepulan asap kotor. Setiap hari langit pun terlihat mendung, karena tebalnya asap hitam. Anak-anak pun banyak yang sakit, merasakan demam, batuk dan pilek. Diduga kuat karena menghirup udara yang tidak bersih.
Selain bagi warga sekitar, masyarakat yang lainnya pun merasakan dampak dari kebakaran ini. Yaitu berupa penumpukan sampah, karena biasanya sampah dari wilayah Bandung dsn sekitarnya diangkut lalu dibuang ke TPA Sarimukti. Karena terjadi kebakaran jadilah wilayah tersebut tidak bisa membuang sampah, hingga Pemprov Jabar menetapkan bahwa Bandung Raya darurat sampah.
Hingga hari ini, penanganan masalah sampah memang belum sepenuhnya menjadi perhatian, baik pemerintah maupun masyarakat. Sejumlah LSM maupun gerakan sosial yang fokus pada masalah lingkungan harus berupaya keras. Sejumlah gagasan dirumuskan. Langkah taktis pun bermunculan. Sayangnya, problem sampah seolah tiada akhir.
Akibatnya, saat terjadi kebakaran di tempat pembuangan sampah akhir menjadi bencana serius bagi masyarakat. Karena sedari awal lautan sampah tersebut tidak ditangani secara optimal. Tentu, ini seperti bom waktu yang tinggal menunggu meledak saja.
Terkait sampah sendiri adalah sisa kegiatan sehari-hari manusia. Sampah seringkali mengacu kepada material sisa yang tidak diinginkan atau tidak bermanfaat bagi manusia setelah berakhirnya suatu kegiatan atau proses domestik. Maka sebenarnya, permasalahannya ada pada gaya hidup manusia itu sendiri. Gaya hidup konsumtif saat ini menjadi penyumbang terbesar jumlah sampah.
Terkait gaya hidup konsumtif, Ekonom kapitalis Adam Smith menyatakan bahwa sifat konsumerisme manusia memiliki sisi positif. Gaya hidup ini dapat menstimulus pertumbuhan ekonomi sekaligus meningkatkan pendapatan masyarakat.
Inilah sebab, masyarakat kapitalistik sulit memilah yang mana kebutuhan, dan mana keinginan karena dalam pandangan kapitalisme, apa pun yang manusia butuh harus dipenuhi tanpa kecuali.
Jika prinsip tersebut kita tarik dalam realitas peningkatan volume sampah, konsumerisme yang kian menggejala jelas berdampak langsung pada lingkungan. Di sisi lain, ada paradigma mendasar yang memerlukan kajian sistemis dalam tata kelola lingkungan kita.
Paradigma kapitalisme yang mengutamakan kepentingan korporasi adalah faktor yang menyulitkan niat untuk mewujudkan kelestarian lingkungan. Hasrat meraup keuntungan telah mengerdilkan kesadaran korporasi untuk memperhatikan lingkungan.
Manusia-manusia kapitalistik yang tidak mampu memilah kebutuhannya bertemu dengan hasrat meraup keuntungan sebanyak-banyaknya dari para korporat. Alhasil, niat baik aktivis lingkungan untuk meringankan beban bumi seolah menemui jalan buntu.
Padahal, masalah lingkungan bukanlah masalah yang berdiri sendiri. Oleh karena itu, butuh kebijakan komprehensif yang mampu menuntaskan masalah lingkungan hingga ke akar-akarnya. Dari tataran individu, masyarakat hingga negara. Sebab, kerusakan lingkungan yang berdampak pada krisis iklim ini bersifat holistik.
Bila melihat cara pandang Islam terkait kelestarian lingkungan, merupakan poin penting dalam pembangunan. Islam sangat memperhatikan lingkungan.
Allah Swt. berfirman, “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah (Allah) memperbaikinya…” (QS Al-A’raf: 56).
Rasulullah saw. sendiri senantiasa mengingatkan para sahabat untuk menjaga lingkungan. Saat hendak melakukan perang, Rasulullah memerintahkan agar tidak menebangi pohon dan merusak lingkungan. Para sahabat sendiri menyadari hakikat firman Allah, “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia…” (QS Ar-Ruum: 41).
Berdasarkan hal ini, manusia wajib menjaga lingkungan. Segala aktivitas yang berpotensi merusak lingkungan wajib manusia jauhi. Dalam tataran individu, menjaga lingkungan dapat diawali dengan memilah kebutuhan dan keinginan.
Dengan sendirinya, masyarakat tidak akan membeli apa yang tidak mereka butuh. Berkebalikan dengan pandangan kapitalisme yang memandang apa pun yang manusia inginkan otomatis terkategori kebutuhan.
Dalam aspek kenegaraan, penting bagi penguasa menggalakkan edukasi mengenai pola hidup hemat dan tidak bermewah-mewahan. Islam memang tidak membatasi seseorang untuk memiliki barang tertentu, tetapi Islam juga memiliki lensa khas bagaimana merawat lingkungan.
Atas dasar ini, masyarakat—produsen maupun konsumen—akan memperhatikan lingkungan dengan landasan keimanan.
Tentu, penanganan sampah sesungguhnya tidak akan selesai jika hanya fokus pada individu saja. Butuh peran negara dalam membangun paradigma keimanan untuk menangani masalah sampah.
Dalam sistem kapitalisme, akar masalahnya ada pada paradigma ini. Konsumerisme sebagai konsekuensi logis sistem ekonomi kapitalisme harus direvisi secara sistemis.